About Me

header ads

"Guru Tidak Tetap (GTT) Dalam Diskriminasi Payung Hukum dan Kontribusi Nasional"


Guru merupakan profesi mulia yang menjadi tulang punggung kemajuan Pendidikan di suatu negara. Sayangnya profesi mulia ini masih kurang dihargai di Indonesia. Guru Tidak Tetap (GTT) masih belum diperhatikan sepenuhnya oleh Pemerintah, terutama GTT SD dan SMP yang masih dalam naungan Pemerintah Kabupaten. Berbeda dengan GTT setingkat SMA/SMK yang sudah diambil alih oleh Pemerintah Provinsi. Nasib mereka masih terombang-ambil oleh ketidakjelasan aturan. Padahal peran mereka dalam dunia pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata. Meskipun Menteri Pendidikan, Muhadjir Efendi mengatakan Indonesia tidak kekurangan guru, tapi kenyataannya banyak sekali Sekolah Dasar (SD) yang kekurangan guru berstatus PNS. Tidak dipungkiri keberadaan GTT sangat dibutuhkan untuk melangsungkan proses pembelajaran di sekolah.


Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2015 menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik, pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Berdasarkan pengertian di atas, pendidik yang melaksanakan lima tugas pokok utama di dalam lingkungan pendidikan formal dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK disebut guru. 

Namun status guru di Indonesia masih mengalami dikriminasi, tidak hanya terkait penghasilan tapi hak (selain finansial). Sudah jelas, perbedaan penghasilan guru PNS dan GTT tidak bisa dipungkiri. Setidaknya beri kesempatan kepada GTT untuk mendapatkan hak yang terkait perlindungan hukum dan kesempatan meningkatkan kompetensi.


Diskriminasi Hak Terkait Perlindungan Hukum


Berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 pasal 1 poin (c) berbunyi, guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intektual. GTT saat ini layaknya guru ilegal yang sama sekali tidak memiliki payung hukum kuat. Sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 48/2005 Jo PP No. 43/2007, sekolah dilarang mengangkat guru honorer. Dahulu guru honorer bisa mendapatkan payung hukum, setidaknya dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berupa SK dari Bupati. Kini istilah guru honorer berubah menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) yang mana mereka diangkat oleh Kepala Sekolah dan dibiayai sesuai kemampuan sekolah. Sama sekali tidak ada payung hukum yang kuat untuk GTT.


Tidak adanya payung hukum untuk GTT menyebabkan nasib mereka tidak jelas. Ketidakjelasan ini bukan semata-mata tentang harapan diangkat menjadi PNS karena bagaimanapun juga, hak pengangkatan PNS berada dalam naungan Pemerintah Pusat. Namun diskriminasi payung hukum berkaitan dengan nasib mereka yang tidak bisa mengajukan Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).


Tanpa adannya SK dari Bupati/Walikota/Gubernur, GTT di sekolah negeri tidak bisa mengajukan NUPTK. Lain halnya dengan Guru Tetap Yayasan (GTY), mereka bisa mengajukan NUPTK dengan SK Yayasan. Inilah salah satu diskriminasi hukum untuk guru berstatus non-PNS. Padahal mereka sama-sama guru dengan kewajiban sama tapi hak masih dibedakan. GTT di sekolah negeri seolah dipersulit untuk mendapatkan payung hukum. Sedangkan guru-guru di sekolah swasta cenderung lebih longgar dalam pemerolehan kekuatan hukum.


Tak Ber-NUPTK, Miskin Kesempatan Berkontribusi


Guru-guru yang tidak ber-NUPTK juga memiliki masalah kesempatan meningkatkan kompetensi. Berdasarkan UU Guru dan Dosen nomor 14 pasal 1 poin (d) disebutkan , guru berhak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, dalam hal ini kesempatan mengikuti pelatihan dan kontrubusi dalam kompetisi di tingkat nasional.

Beberapa waktu yang lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan situs resmi Kesharlindung Dikdas (Kesejahteraan, Penghargaan dan Perlindungan) untuk guru-guru dalam lingkup Pendidikan Dasar (SD dan SMP). Namun tidak semua guru bisa mendaftarkan diri ke dalam situs resmi tersebut karena tidak memiliki NUPTK. Padahal untuk mengikuti kegiatan nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian selalu saja melalui situs tersebut, seperti INOBEL, KARBANG, OGN dan lain-lain.

Inilah salah satu diskriminasi kesempatan berkontribusi di tingkat nasional. Bukankah dalam UU Guru dan Dosen Nomor 14 pasal 1, pengertian guru tidak dibatasi oleh kepemilikan NUPTK atau tidak. Siapapun yang bekerja sebagai pendidik dengan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada PAUD jalur pendidikan formal, DIKDAS dan DIKMEN, sudah bisa sebagai guru. Kesempatan berkompetisi dan meningkatkan kompetensi seharusnya menjadi milik semua guru tanpa batasan apapun.


Solusi

Pada dasarnya jiwa yang harus dimiliki seorang guru adalah ikhlas dalam pengabdian. Boleh saja jika dalam perjanjian awal menjadi GTT, tidak boleh menuntut menjadi CPNS atau gaji tinggi seperti PNS. Hal itu sudah dipahami oleh calon guru dan GTT sendiri. Tapi setidaknya beri GTT di sekolah negeri kekuatan hukum supaya bisa mengikuti kegiatan nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Ada beberapa solusi untuk mengatasi masalah dikriminasi kesempatan berkompetisi dan berkontribusi. Pertama, permudah syarat pengajuan NUPTK untuk GTT di sekolah negeri. Kedua, kepada seluruh Kepala Daerah Kabupaten atau Kota untuk lebih memperhatikan nasib GTT. Seperti beberapa daerah yang sudah melakukan perekrutan GTT secara serentak dan dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah sehingga kemungkinan mendapatkan SK Bupati dan NUPTK.


Semoga nasib GTT di Indonesia bisa lebih baik. Jika bukan dalam hal kesejahteraan finansial, setidaknya beri payung hukum supaya mereka dapat berpatisispasi dalam kegiatan nasional. Biarlah urusan kesejahteraan finansial, masih bisa kami perjuangkan selama tidak ada kepedulian dari Pemerintah. Semakin banyak guru yang diberi kesempatan berpartisipasi dalam ajang nasional, kompetisi di kalangan pendidik semakin kompetitif sehingga kualitas karya akan semakin baik.


Post a Comment

0 Comments