Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14
tahun 2015 menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik, pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Berdasarkan pengertian di
atas, pendidik yang melaksanakan lima tugas pokok utama di dalam lingkungan
pendidikan formal dari jenjang PAUD hingga SMA/SMK disebut guru.
Namun status guru di Indonesia masih
mengalami dikriminasi, tidak hanya terkait penghasilan tapi hak (selain
finansial). Sudah jelas, perbedaan penghasilan guru PNS dan GTT tidak bisa
dipungkiri. Setidaknya beri kesempatan kepada GTT untuk mendapatkan hak yang
terkait perlindungan hukum dan kesempatan meningkatkan kompetensi.
Diskriminasi Hak Terkait Perlindungan Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Guru dan Dosen
Nomor 14 pasal 1 poin (c) berbunyi, guru berhak memperoleh perlindungan dalam
melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intektual. GTT saat ini layaknya guru
ilegal yang sama sekali tidak memiliki payung hukum kuat. Sejak diterbitkannya
Peraturan Pemerintah (PP) No. 48/2005 Jo PP No. 43/2007, sekolah dilarang
mengangkat guru honorer. Dahulu guru honorer bisa mendapatkan payung hukum,
setidaknya dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berupa SK dari Bupati. Kini
istilah guru honorer berubah menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) yang mana mereka
diangkat oleh Kepala Sekolah dan dibiayai sesuai kemampuan sekolah. Sama sekali
tidak ada payung hukum yang kuat untuk GTT.
Tidak adanya payung hukum untuk GTT
menyebabkan nasib mereka tidak jelas. Ketidakjelasan ini bukan semata-mata
tentang harapan diangkat menjadi PNS karena bagaimanapun juga, hak pengangkatan
PNS berada dalam naungan Pemerintah Pusat. Namun diskriminasi payung hukum
berkaitan dengan nasib mereka yang tidak bisa mengajukan Nomor Unik Pendidik
dan Tenaga Kependidikan (NUPTK).
Tanpa adannya SK dari
Bupati/Walikota/Gubernur, GTT di sekolah negeri tidak bisa mengajukan NUPTK.
Lain halnya dengan Guru Tetap Yayasan (GTY), mereka bisa mengajukan NUPTK
dengan SK Yayasan. Inilah salah satu diskriminasi hukum untuk guru berstatus
non-PNS. Padahal mereka sama-sama guru dengan kewajiban sama tapi hak masih
dibedakan. GTT di sekolah negeri seolah dipersulit untuk mendapatkan payung
hukum. Sedangkan guru-guru di sekolah swasta cenderung lebih longgar dalam
pemerolehan kekuatan hukum.
Tak Ber-NUPTK, Miskin Kesempatan
Berkontribusi
Guru-guru yang tidak ber-NUPTK juga
memiliki masalah kesempatan meningkatkan kompetensi. Berdasarkan UU Guru dan
Dosen nomor 14 pasal 1 poin (d) disebutkan , guru berhak memperoleh kesempatan
untuk meningkatkan kompetensi, dalam hal ini kesempatan mengikuti pelatihan dan
kontrubusi dalam kompetisi di tingkat nasional.
Beberapa waktu yang lalu, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah meluncurkan situs resmi Kesharlindung Dikdas
(Kesejahteraan, Penghargaan dan Perlindungan) untuk guru-guru dalam lingkup
Pendidikan Dasar (SD dan SMP). Namun tidak semua guru bisa mendaftarkan diri ke
dalam situs resmi tersebut karena tidak memiliki NUPTK. Padahal untuk mengikuti
kegiatan nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian selalu saja melalui
situs tersebut, seperti INOBEL, KARBANG, OGN dan lain-lain.
Inilah salah satu diskriminasi kesempatan
berkontribusi di tingkat nasional. Bukankah dalam UU Guru dan Dosen Nomor 14
pasal 1, pengertian guru tidak dibatasi oleh kepemilikan NUPTK atau tidak.
Siapapun yang bekerja sebagai pendidik dengan tugas mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada
PAUD jalur pendidikan formal, DIKDAS dan DIKMEN, sudah bisa sebagai guru.
Kesempatan berkompetisi dan meningkatkan kompetensi seharusnya menjadi milik
semua guru tanpa batasan apapun.
Solusi
Pada dasarnya jiwa yang harus dimiliki
seorang guru adalah ikhlas dalam pengabdian. Boleh saja jika dalam perjanjian
awal menjadi GTT, tidak boleh menuntut menjadi CPNS atau gaji tinggi seperti
PNS. Hal itu sudah dipahami oleh calon guru dan GTT sendiri. Tapi setidaknya
beri GTT di sekolah negeri kekuatan hukum supaya bisa mengikuti kegiatan
nasional dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Ada beberapa solusi untuk mengatasi
masalah dikriminasi kesempatan berkompetisi dan berkontribusi. Pertama,
permudah syarat pengajuan NUPTK untuk GTT di sekolah negeri. Kedua, kepada
seluruh Kepala Daerah Kabupaten atau Kota untuk lebih memperhatikan nasib GTT.
Seperti beberapa daerah yang sudah melakukan perekrutan GTT secara serentak dan
dikoordinasi oleh Pemerintah Daerah sehingga kemungkinan mendapatkan SK Bupati
dan NUPTK.
Semoga nasib GTT di Indonesia bisa lebih
baik. Jika bukan dalam hal kesejahteraan finansial, setidaknya beri payung
hukum supaya mereka dapat berpatisispasi dalam kegiatan nasional. Biarlah
urusan kesejahteraan finansial, masih bisa kami perjuangkan selama tidak ada
kepedulian dari Pemerintah. Semakin banyak guru yang diberi kesempatan
berpartisipasi dalam ajang nasional, kompetisi di kalangan pendidik semakin
kompetitif sehingga kualitas karya akan semakin baik.
0 Comments